Minggu, 17 Oktober 2010

Transformasi Permainan Anak Indonesia

Add caption



Permainan elektronik sekarang ini seakan-akan sudah menjadi pilihan utama bagi anak-anak Indonesia dalam bermain. Permainan itu seakan sudah hampir menggantikan semua permainan tradisional yang seringkali kita jumpai sewaktu dulu.
Kalau kita boleh membandingkan, zaman sekarang, orientasi permainan anak-anak kita sudah beralih ke permainan yang sifatnya elektronik dengan teknologi yang lebih canggih. Sebut saja, Play Station 1, 2, dan 3, PSP, Nintendo dan lain-lain sudah mampu menggantikan permainan tradisional yang sebenarnya banyak sekali manfaatnya. Teman SMA saya mempunyai usaha penyewaan rental PS 2 di rumahnya. Dapat terlihat dengan jelas, yang menjadi pelanggan utama adalah anak-anak SD umuran 6-12 tahun walaupun kadang ada juga anak umuran SMP dan SMA yang menyewa. Di tempat penyewaan itu terdapat enam play station+televisinya dan sewa perjamnya Rp 2500,00. Katanya, dalam sehari saja, ia bisa mendapat Rp 100.000 bahkan lebih jika hari libur. Tempat penyewaan itu agak ramai mulai pukul 12 lewat, waktu dimana anak SD sudah bubar. Walaupun kadang, masih terdapat beberapa anak yang merelakan bolos sekolah untuk pergi ke tempat penyewaan itu.
Dari teman saya yang lain, beberapa tempat penyewaan PS di daerahnya (kebetulan teman saya dari Jawa Tengah), sering mengadakan perjudian-perjudian bermain PS. Hal ini mungkin digeluti oleh orang yang lebih dewasa, umuran SMA dan kuliahan. Tapi, terkadang, beberapa anak kecil juga mulai mencoba berjudi dengan rekan sebayanya walaupun dengan taruhan yang agak rendah. Memang, kita melihat hal ini seperti hal yang biasa tapi secara tidak sadar, kita menanamkan jiwa-jiwa penjudi dalam diri anak-anak kita. Tentu saja pemantauan orang tua menjadi factor penentu proses pengawasan perkembangan anak terkait dengan dunia permainannya.
Sebenarnya, banyak dampak-dampak negative ketika anak diberikan permainan dengan teknologi sekarang. Misalkan, permainan elektronik identik dengan duduk diam saja, bersifat pasif sehingga tidak ada begitu gerakan berarti. Ini menyebabkan fisik anak dibiasakan untuk lemah dan akan terbawa ketika ia beranjak dewasa nanti. Kedua, ketika anak sudah dihadapkan dengan permainan elektronik, ia cenderung sendiri sehingga kurang bersosialisasi dengan temannya yang lain. Hal ini menyebabkan sifat pemalu, penyendiri dan individualistis.
Add caption

Lain permainan elektronik, lain lagi permainan tradisional. Menurut Hamzuri dan Tiarma Rita Siregar dalam bukunya, Permainan Tradisional Indonesia, permainan tradisional memiliki ragam bentuk dan variasi yang begitu banyak. Setidaknya ada 750 macam permainan tradisional di Indonesia, dan banyak yang belum terinventarisasi. Hal ini mengidentifikasikan bahwa permainan tradisional Indonesia sangat melimpah. Tapi, kenyataan yang ada di masyarakat sekarang, permainan tradisional sudah sangat jarang dimainkan karena berbagai alasan.
Saya ingat, sewaktu SD dulu, setiap waktu jeda istirahat, bersama teman yang lain seringkali memainkan gobak sodor (kalau di daerah saya di Kalsel, namanya permainan Asin). Permainan ini terdiri dari dua kelompok yang saling adu dan masing-masing regu berusaha menjalankan strategi yang sudah dibuat regu masing-masing. Tanpa disadari, telah tertanam unsur kerjasama untuk mencapai tujuan bersama yaitu memenangkan pertandingan. Tanpa disadari telah tertanam dari kecil bagaimana cara bersosialisasi dengan sesame melalui permainan tradisional itu.
Permainan tradisional sebenarnya mempunyai karakteristik yang berdampak positif pada perkembangan anak.
Pertama, permainan itu cenderung menggunakan atau memanfaatkan alat atau fasilitas di lingkungan kita tanpa harus membelinya sehingga perlu daya imajinasi dan kreativitas yang tinggi. Banyak alat-alat permainan yang dibuat/digunakan dari tumbuhan, tanah, genting, batu, atau pasir. Misalkan mobil-mobilan yang terbuat dari kulit jeruk bali, engrang yang dibuat dari bambu, permainan ecrak yang menggunakan batu, telepon-teleponan menggunakan kaleng bekas dan benang nilon dan lain sebagainya.
Kedua, permainan anak tradisional dominan melibatkan pemain yang relatif banyak. Tidak mengherankan, kalau kita lihat, hampir setiap permainan rakyat begitu banyak anggotanya. Sebab, selain mendahulukan faktor kesenangan bersama, permainan ini juga mempunyai maksud lebih pada pendalaman kemampuan interaksi antarpemain (potensi interpersonal). seperti petak umpet, , congklak, dan gobak sodor.
Ketiga, permainan tradisional menilik nilai-nilai luhur dan pesan-pesan moral tertentu seperti nilai-nilai kebersamaan, kejujuran, tanggung jawab, sikap lapang dada (kalau kalah), dorongan berprestasi, dan taat pada aturan. Semua itu didapatkan kalau si pemain benar-benar menghayati, menikmati, dan mengerti sari dari permainan tersebut.
Banyak manfaat-manfaat lain yang dapat kita ambil dari permainan tradisional misalkan sosialisasi mereka (anak) dengan orang lain akan semakin baik; dalam permainan berkelompok mereka juga harus menentukan strategi, berkomunikasi dan bekerja sama dengan anggota tim (misalkan dalam permainan engklek, congklak, lompat tali, encrak/entrengan, bola bekel dan lain-lain. Manfaat-manfaat ini akan memperngaruhi perkembangan anak ke depannya.
Sekarang, tinggal orang tualah yang menentukan. Apakah lebih memilih untuk memperkenalkan teknologi sejak dini kepada anak termasuk dalam memberikan kebutuhan bermainnya. Ataukah mengajak anak untuk lebih sering turun bermain ke tanah sehingga ia dapat bersosialisasi dengan anak yang lain dalam permainan-permainan rakyat yang sudah ada. Tentunya, memilih keduanya harus ada batasan-batasan atau aturan-aturan tertentu yang mesti dijalankan sehingga dalam perkembangan anak masih dalam koridor yang baik. Orang tua yang baik pasti mengetahui bagaimana menanamkan nilai-nilai positif pada perkembangan anak-anaknya dalam bentuk permainan. Permainan tidak saja akan mempengaruhi perkembangan anak secara parsial tetapi juga akan menentukan karakteristik anak ke depannya.

0 komentar:

Posting Komentar

KELUARAN TOGEL

Blogroll